Cari Blog Ini

Selamat Datang, Kawan

Mari berbagai pengetahuan tentang pendidikan, terutama pendidikan jasmani. dan juga tentang Olahraga Bagi yang tertarik kami tunggu komentar dan pendapatnya. OK?

Kamis, 13 Agustus 2009

GURU PENDIDIKAN JASMANI SUDAH (BELUM) PROFESIONAL

Membaca judul diatas, maka pertanyaan yang pertama muncul dalam pikiran kita adalah apa pengertian professional? Kedua adalah adakah guru pendidikan jasmani yang professional?. Pertanyaan ketiga, lalu bagaimana guru pendidikan jasmani yang profesional itu.
Kita sering mendengar apa itu istilah olahragawan amatir dan apa itu istilah olahragawan professional. Dan kita juga tahu bahwa kedua pengertian itu jelas-jelas berbeda olahragAwan amatir diartikan bahwa olahragawan yang menekuninya bukan untuk mencari uang, namun sebaliknya olahragawan professional adalah olahragawan yang justru melakukannya karena ingin mencari uang. Kalau menurut kamus bahasa Indonesia istilah amatir artinya orang yang melakukan sesuatu hanya karena hobi atau kesenangan (bukan bertujuan bisnis). Sedangkan istilah professional artinya berkenaan dengan pekerjaan, berkenaan dengan keahlian; memerlukan kepandaian khusus untuk melaksanakannya; mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.
Berbicara istilah professional memang kita tidak bisa melepaskan dari kata profesi, sebuah jenis pekerjaan yang didasari oleh sebuah pengetahuan atau pendidikan tertentu. Persoalannya adalah apakah kita sebagai guru pendidikan jasmani profesi? Tentu jawabnya adalah ya karena profesi diperlukan sebuah pengetahuan atau pendidikan. Kalau kita sudah merasa bangga dengan sebutan profesi maka pembahasan kita akan kita akhiri sampai disini. Namun jika kita ingin profesi kita ingin menjadi professional maka kita akan teruskan pembahasan ini.
Tanpa kita sadari sebenarnya kita sudah masuk dalam ruang lingkup professional. Mengapa demikian, karena pekerjaan kita sudah menuntut adanya sebuah pembayaran. Nah, disini persoalanya adalah apakah pembayaran yang kita dapatkan apakah sudah cukup? ataukah kita ingin meningkatkan terus. Kalau itu terjadi maka pada dasarnya kita berada pada sebuah proses menuju professional.
Pada pertanyaan yang kedua adakah guru pendidikan jasmani yang professional? Tentu jawabnya bapak/ibu adalah ada. Kita akan merasa kecewa jika dikatakan tidak professional atau tidak ada guru penjas yang professional. Namun dengan kecewa apalagi marah nampaknya tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Bahkan menghabiskan energy kita yang luar biasa besar. Nah sekarang, bagaimana jika saya menawarkan apa tidak sebaiknya bahwa energy kita, kita salurkan pada aspek peningkatan kualitas diri melalui pendidikan dan pelatihan tentang semua hal yang berkaitan dengan kita sebagai guru pendidikan jasmani. Setujukah anda? Kalau jawabannya ya berarti sekali lagi pembahasan ini pantas kita lanjutkan. Namun pertanyaan berikutnya seberapa banyak jumlah guru pendidikan jasmani yang profesional? Dalam hal ini mestinya perlu diadakan penelitian tersendiri, sehingga kita tahu berapa banyak yang dapat dikatakan professional dan berapa yang tidak. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa banyak teman-teman guru pendidikan jasmani yang berada diruangan ini yang ingin professional? Tentu saja jawabnya yang sederhana adalah seberapa kuat motivasi untuk maju dan berkualitas pada masing-masing individu.
Guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru, yang dapat menjadi guru profesio-nal. Tetapi sejauh mana ketentuan ini berlaku umum? Apakah sekolah guru menjamin lulusannya pasti adalah guru yang profesional? Banyak juga lulusan sekolah guru yang memberi kesan seolah-olah mereka tidak pernah melalui pendidikan guru. Jadi realitas ini tidak sesuai dengan yang seharusnya berlaku. Bahkan, sesekali ada juga orang yang tidak merupakan lulusan sekolah guru, yang kemudian ternyata dapat menjadi guru. Apakah mereka itu berhak menyandang predikat guru profesional ?
Berita dari dunia pendidikan menggetarkan: pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.
Hal menarik, yang juga dikemukakan oleh Prof Nanang Fatah, yaitu bahwa pada uji kompetensi Matematika, dari 40 pertanyaan rata-rata hanya dua pertanyaan yang diisi dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidangnya (Kompas, 9/12/05di kutip oleh Baskoro Poedjinoegroho E).Bagaimana dengan guru pendidikan jasmani sudahkah kita professional?
Guru Pendidikan Jasmani Sudah (Belum) Profesional
Kualitas guru pendidikan jasmani di sekolah-sekolah pada umumnya kurang memadai. Mereka kurang mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. Demikian Aip Syarifuddin menyampaikan ini dalam orasinya saat dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jumat (14/6). Salah satu masalah utama dalam pengajaran pendidikan jasmani di Indonesia adalah belum efektifnya pelaksanaan pengajaran pendidikan jasmani di sekolah-sekolah. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor diantarnya adalah terbatasnya kemampuan guru dan terbatasnya sumber-sumber yang digunakan untuk mendukung proses pengajaran pendidikan jasmani.Guru belum berhasil melaksanakan tanggungjawabnya untuk mendidik siswanya secara sistematik melalui kegiatan pendidikan jasmani, untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan siswa secara menyeluruh, baik dalam segi fisik, mental, intelektual maupun sosial dan emosionalnya. (van) (Sinar Harapan, Jakarta 15 Juni 2009)
Peningkatan harkat dan martabat serta penghargaan guru sebagai profesi sebagaimana sudah diatur dalam peraturan pemerintah nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen serta peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru telah merupakan komitmen konkret pemerintah terhadap profesionalitas guru. Realitas nyata sudah pula dibuktikan, yakni penyelenggaraan sertifikasi guru yang diikuti oleh penghargaan berupa tunjangan profesi bagu yang sudah bersertifikat pendidik. Tujuan kebijakan tersebut adalah peningkatan mutu pendidikan dan secara khusus adalah mepingkatan mutu pembelajaran yang berujung pada peningkatan mutu hasil belajar siswa.
Profesionalisasi guru (pendidik) di Indonesia merujuk pada 3 pilar utama, yaitu (a) diakuinya guru sebagai profesi oleh masyarakat dan pemerintah, diakuinya keberadaan profesi ini sebagai layanan yang unik, (b) disadarinya kenyataan bahwa layanan ahli yang unik itu merupakan terapan suatu kiat (arts), atau terapan non rutin, dari kemampuan akademik yang solid untuk suatu bidang layanan, yang diperoleh melalui pendidikan akademik yang sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous) serta berlangsung relative lama, yang kemudian disambung dengan pendidikan profesi yang berupa latihan menerapkan kemampuan yang dikuasai pada tahap pendidikan akademik yang dimaksud, dalam konteks otentk di lapangan disertai mekanisme penyeliaan yang sistematis dan (c) diizinkannya hanya pengampu layanan ahli yang mengedepankan kemaslahatan pengguna layanan khususnya, dan kemaslahatan peserta didik, sehingga layak menerima imbalan yang memadai (Raka Joni, 2007).
Dalam menjalankan tugas professional, kompetensi guru tersebut harus dibuktikan dalam kemampuan-kemampuan berikut: (1) mengenal peserta didik yang akan dilayani secara mendalam, (2) menguasai bidang ilmu baik secara keilmuan maupun pemilihan dan pengemasannya kedalam materi pembelajaran, (3) menyusun rancangan pembelajaran beserta perangkat perangkat pembelajaran, termasuk perangkat evaluasi proses dan hasil pembelajaran, (4) mengimplementasikan rancangan program pembelajaran serta melakukan penyesuaian-penyesuaian demi tercapainya tujuan pembelajaran, (5) menguasai bidang-bidang lain yang diperlukan untuk meningkatkan pembelajaran dan memutakhirkan pengetahuan dan ketrampilan pendidik, dan (6) memiliki sikap, nilai, dan kebiasaan berfikir produktif yang perwujudannya berupa kebiasaan berfikir kritis, berfikir kreatif, mandiri, serta perilaku yang menunjang tampilan kinerja pendidik.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Harapan tersebut tentu saja ujungnya adalah terwujudnya guru yang profesional yang mampu menjalankan profesinya sesuai dengan berbagai tuntutan tempat melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain usaha sertifikasi ini pada dasarnya adalah meningkatnya efektivitas pembelajaran yang dilakukan para guru pada tingkat satuan pendidikan atau sekolah.
Upaya meningkatkan profesio­nalisme guru menurut Gerstner dkk., peranan guru tidak hanya sebagai teacher (pengajar), tapi guru harus berperan sebagai; (1) Pelatih (coach), guru yang profesional, yang berperan ibarat pelatih olah raga. Ia lebih banyak membantu siswanya dalam permainan, bedanya permainan itu adalah belajar (game of learning) sebagai pelatih, guru mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya. (2) Konselor, guru akan menjadi sahabat siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa, menciptakan suasana di mana siswa belajar dalam kelompok kecil di bawah bimbingan guru. (3) Manajer belajar, guru akan bertindak ibarat manajer perusahaan, ia membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, mengeluarkan ide terbaik yang dimilikinya. Di sisi lain, ia sebagai bagian dari siswa, ikut belajar bersama mereka sebagai pelajar, guru juga harus belajar dari teman seprofesi. Sosok guru itu diibaratkan segala bisa.( Husainiyah, pikiran rakyat, Kamis, 17 Februari 2005)
Ada beberapa, tugas pokok disamping ada empat fungsi sebagai guru masing-masing adalah guru sebagai pemimpin, guru sebagai pendidik, guru sebagai pengajar dan guru sebagi pembimbing. Tugas-tugas pokok tersebut meliputi; peningkatan kesegaran jasmani anak didik, memimpin kegiatan dalam bermain atau latihan yang, seiring dengan pembelajaran, sebagai motivator dan penegak disiplin.
Untuk tercapainya tujuan pembelajaran pada setiap tatap muka seringkali dijumpai beberapa murid mengalami kesulitan dalam penguasaan skil-skill (keterampilan) gerak. Dalam kondisi seperti ini sebagai guru pendidikan jasmani dituntut profesionalisme dalam pelayanan untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Guru pendidikan jasmani dituntut coaching assets atau modal kepelatihan agar memiliki sifat yang bernilai dari seorang guru penjas disamping sebagai guru juga dia sebagai orang tua, motivator yang memperlancar pendekatan yang positif dan menentukan, dan sebagai teman yang senantiasa membantu memberi dukungan guna tercapainya tujuan pembelajaran. Rasa humor sangat dibutuhkan oleh anak didik manakala rasa jenuh, rasa lelah dan penguasaan materi pembelajaran termasuk skill-skill kurang dikuasai dengan cepat.
Kompetensi pendidik sebagaimana dinyatakan dalam PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terurai menjadi 4 komponen, yaitu (1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi profesional (dalam penjelasan yang dimaksud kompetensi profesional adalah penguasaan bidang ilmu yang diajarkan), (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Pengembangan elemen-elemen kompetensi tersebut tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah, akan tetapi musti dilakukan dalam bingkai utuh kompetensi guru.
Kompetensi guru merupakan bentuk integrasi yang bersenyawa dari berbagai pengetahuan dan keterampilan yang sisi-sisinya menampakkan (1) penguasaan dalam disiplin ilmu secara baik dan mendalam (Kompetensi Profesional), (2) penguasaan teori belajar dan pembelajaran serta mengenal peserta didik secara mendalam (Kompetensi Pedagogis), (3) pengembangan pembelajaran, yang terdiri atas kemampuan menganalisis tujuan, menganalisis isi dan mengorganisasi isi, merancang scenario pembelajaran, menyusun perangkat pembelajaran, dan mengembangkan sistem evaluasi (Kompetensi Pedagogis dan Profesional), (4) melaksanakan pembelajaran yang mendidik (Kompetensi Pedagogis dan Profesional). Kinerja tersebut memerlukan dukungan (5) penguasaan bidang-bidang lain yang diperlukan untuk meningkatkan pembelajaran dan memutakhirkan pengetahuan dan keterampilanm pendidik (Kompetensi Sosial dan Kepribadian), dan (6) sikap, nilai, dan kebiasaan berpikir produktif, serta perilaku yang menunjang tampilan kinerja pendidik (Kompetensi Sosial dan Kepribadian)
Kebijakan, penelitian, dan praktik di lapangan semua menegaskan bahwa guru memiliki dampak yang signifikan terhadap pendidikan anakanak bangsa. Tidak hanya Indonesia yang terpuruk mutu pendidikannya, Amerika Serikat pun memberikan mandat melalui Public Law 107-110 (NoChild Left Behind Act), bahwa pada tahun 2005-2006 semua anak di setiap sekolah di Amerika Serikat diajar oleh guru yang berkualitas tinggi. Guru yang berkualitas tinggi didefinisikan sebagai profesional yang memiliki lesensi mengajar dalam bidangnya (U.S. Departmen of Education, 2002), yang di dalam Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 disebut guru yang memiliki kualifikasi sarjana (S1) atau Diploma IV, dan memiliki sertifikat pendidik.

Kompetensi pedagogis, Secara umum, dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa rerata proporsi waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa di atas 40% merupakan indikator yang termasuk dalam katagori baik. Oleh karena itu berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, cukup jelas bahwa kompetensi pedagogis guru pendidikan jasmani termasuk kategori bagus. Namun demikian apabila dianalisis berdasarkan masa kerja terlihat jelas bahwa semakin lama masa kerja, maka semakin menurun kompetensi pedagogisnya. Kompetensi Profesional, Minimnya pengetahuan yang diperoleh saat pre-service training tampaknya juga berpengaruh pada keyakinan guru dalam menjalankan profesinya. Sebanyak 36,11% menyatakan bahwa mereka merasa tidak layak menjalankan tugas mengajar secara profesional. Mereka yang menyatakan cukup layak sebesar 55,56%, dan hanya 2,78% yang menyatakan sangat layak. Kompetensi kepribadian, Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara umum cukup memadai, tetapi yang menyedihkan adalah masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi kepribadian. Semakin lama masa kerja, semakin menurun kompetensi kepribadiannya. Penurunan terjadi di semua aspek, mulai dari kejujuran, kedisiplinan, keterbukaan, etos kerja, dan inovasi. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar Bagaimana dengan kompetensi sosial? Sebagaimana yang terjadi pada kompetensi kepribadian terjadi pula pada kompetensi sosial. Penjelasan yang diberikan pada kompetensi kepribadian dapat juga diterapkan pada konteks kompetensi kepribadian. (Ali Maksum, on line diakses tgl. 23 Maret 2009)
Kesimpulan yang dapat kita paparkan adalah bahwa kata profesionalisme adalah sebuah proses menuju seseorang menjadi ahli, namun jika keahlian sudah diperoleh bukan berarti proses itu berhenti, kata itu sendiri mengandung makna tanpa batas. Dengan demikian kita akan berhenti menjadikan guru pendidikan jasmani yang professional jika kita sudah tidak berperan lagi sebagai guru. Dengan kata lain jika kita sudah tidak bekerja lagi baru kita tidak perlu berbicara tentang profesionalisme. Setujukah Anda?

Rujukan,
Maksum, Ali, (diakses 23 Maret) Kualitas Guru Pendidikan Jasmani di Sekolah:
Antara Harapan dan Kenyataan (on line). Alamat email: alymaks@yahoo.com

Suparno, Kamdi, W., 2008. Pengembangan Profesionalitas guru. Malang: UM

Usman, Uzer,. 2005. Menjadi guru professional. Bandung: Remaja Rosdakarya

Permendiknas Nomor 47 tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Diknas

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Diknas

PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan : Jakarta:
( Husainiyah, pikiran rakyat, Kamis, 17 Februari 2005)
(Kompas, 9/12/05di kutip oleh Baskoro Poedjinoegroho E)